Potensi Pelemahan Rupiah

Bisnis.com – Rupiah berhasil pulih setelah sejak awal pekan ini terus mengalami koreksi. Sementara itu, para analis dan ekonom terus mengingatkan potensi keluarnya arus modal asing dari pasar modal domestik.

Rupiah pada perdagangan pukul 14.32 ditransaksikan di level Rp9.157,50 per dolar AS di Jakarta setelah ditutup di level Rp9.178 per dolar AS pada Rabu. Pergerakan rupiah ini sejalan dengan analisis Divisi Treasuri PT OCBC NISP Tbk yang mengatakan pergerakan rupiah akan terbatas di area Rp9.125-Rp9.175.
Pada penutpan sore, rupiah menguat terhadap nilai tukar dolar AS sebesar 0,11% atau Rp10 ke level Rp9.168 pada sore ini, seiring dengan sinyal pemulihan ekonomi di kawasan yang diperkirakan tumbuh 6,6% pada tahun ini.
Econit Advisory Group dalam analisisnya mencatat rupiah telah mengalami penguatan nilai tukar tertinggi di antara mata uang negara-negara anggota Asean lainnya pada 2009.
Namun rupiah berpotensi melemah pada tahun ini menyusul potensi penguatan nilai tukar dolar AS. Dolar AS diprediksi menguat terhadap berbagai mata uang dunia sebagai dampak lanjutan dari kenaikan suku bunga Federal Reserve AS.
“Dampak dari peningkatan suku bunga di negara-negara maju akan mendorong arus balik investasi portofolio ke Amerika Serikat dan negara maju lainnya,” tulis Econit dalam Economic Outlook 2010 kemarin. Econit memperkirakan nilai tukar rupiah akan bergerak di area Rp9.600-Rp9.800 per dolar AS.
Rupiah melanjutkan rally ke level tertinggi dalam 17 bulan terakhir setelah proyeksi fundamental ekonomi dan suku bunga relatif tinggi menarik masuknya dana asing ke pasar dalam negeri.
Pemerintah RI menjual obligasi global berjangka waktu 10 tahun senilai US$2 miliar pada Selasa. Permintaan pemodal terhadap surat utang itu membeludak hingga 2,3 kali atau mencapai US$4,5 miliar setelah pemerintah membatalkan rencana penerbitan obligasi berjangka waktu 30 tahun. Pembatalan ini dialihkan menjadi penerbitan obligasi berdenominasi rupiah yang diperkirakan naik 50% menjadi Rp7,5 triliun.
“Minat terhdap aset berisiko telah kembali. meskipun Indonesia membatalkan rencana penerbitan obligasi global berjangka waktu 30 tahun, bukan berarti minat pemodal terhadap aset pasar Asia memudar,” kata Magnus Prim, kepala ahli strategi perdagangan mata uang Asia di Skandinaviska Enskilda Banken AB yang berkedudukan di Singapura, seperti dikutip Bloomberg.
Namun, analis dan periset senior PT Monex Investindo Fu-tures Albertus C.K. mengisyaratkan kemungkinan pelemahan rupiah terjadi pada Maret-April sebelum pertemuan The Fed pada Juni. Bank sentral AS itu diyakini akan menyudahi kebijakan suku bunga rendah pada pertemuan Komite Pasar Terbuka The Fed (FOMC) pada Juni. “2010 ini akan menjadi awal siklus kenaikan bunga [The Fed] secara bertahap,” ujar Albertus kepada Bisnis.
Secara historis, ungkapnya, pasar uang selalu bergerak lebih dulu sebelum keluarnya kebijakan tersebut. Seperti pada tahun terjadinya siklus serupa, yaitu 2004, dia melihat pasar mengantisipasinya 3-6 bulan sebelumnya. Respons pasar ini akan dengan sendirinya menaikkan nilai tukar dolar AS.
“Kalau pada 6 bulan sebelumnya, [dolar AS] sudah mulai menguat 3% tetapi 3 bulan sebelumnya menguatnya biasanya lebih kencang sekitar 6%,” tukas Albertus.
Biarkan lemah

Di satu sisi, ekonom Econit Advisory Group Hendri Saparini mengatakan nilai tukar rupiah sebaiknya dibiarkan melemah. Hal ini merupakan strategi yang bisa memperkuat daya saing perdagangan Indonesia, terutama setelah ditandatanganinya Perjanjian Perdagangan Bebas Asean-China. Seperti diketahui, nilai renmimbi yang lemah menjadikan barang-barang China sangat murah di pasaran. “Nilai tukar kita diperlemah, jangan diperkuat,” tukasnya usai jumpa pers kemarin.
Menurut dia, selama ini Indonesia melakukan kesepakatan perdagangan internasional tanpa referensi kebijakan industri yang jelas.
Terkait dengan upaya pelemahan rupiah itu, Hendri menyerukan juga agar pemerintah tidak terus-menerus menarik masuknya hot money ke pasar dalam negeri melalui penerbitan obligasi berimbal hasil tinggi.
Namun, seperti dikatakan Albertus, bank sentral dipastikan akan berada di pasar untuk menjaga yield obligasi sehingga penguatan rupiah tidak akan terlalu tajam.
Bank Indonesia (BI) dalam sejak pekan lalu menyatakan penguatan nilai tukar rupiah beberapa hari terakhir hanya akan bersifat sementara.
Sikap bank sentral tersebut diwujudkan dalam aktivitas di pasar seperti pada 11 Januari 2010, ketika kurs tengah rupiah mencapai Rp9.130 per dolar AS atau menguat tajam dari sebelumnya Rp9.240. (fahmi achmad) (nana.oktavia@bisnis.co.id)
Oleh Nana Oktavia Musliana
Bisnis Indonesia